Minggu, 20 November 2011

Pesan Sosial Dalam Film “Rindu Kami PadaMu”


Rindu Kami PadaMu merupakan film Indonesia yang dirilis pada tahun 2004 yang disutradarai oleh Garin Nugroho. Film ini dibintangi antara lain oleh Didi Petet, Nova Eliza, Fauzi Baadilla, Jaja Mihardja, Neno Warisman, Raisa Pramesi, dan Reza Bukan.
Film ini menggambarkan Islam Indonesia adalah Islam yang khas, karena dalam dinamika sosial ia tumbuh sebagai penghayatan. Islam dapat dikenali tidak saja di masjid-masjid atau surau, tapi bahkan dari hiruk-pikuk suasana pasar, ajaran itu terus saja hadir bersama interaksi masyarakat. Islam menjelma menjadi riuh-rendah dalam budaya manusia Indonesia, tapi tak pernah hilang apalagi punah. Islam berada di sana, menyatu bersama aktifitas, dihayati sebagai citra identitas, dan membentuk individu-individu yang selalu menyisakan keberislaman dalam kedirian mereka.
Melalui signifie pasar, film ini memberi kesan tentang keragaman dan kekompleksan budaya manusia Indonesia, dan melalui signifie masjid, ia tiba untuk melibatkan Islam sebagai satu bagian yang integral dari keragaman itu. Hanya saja, posisi Islam dalam keragaman budaya, bukanlah omongan sempurna tentang ajaran Islam. Dalam Rindu Kami Padamu, apa yang dapat dipandang sebagai wajah Islam, lahir dalam bentuk kritiknya terhadap banyak institusi.
Salah satunya hadir dalam gagasan tentang kubah masjid. Kubah menjadi simbolisasi Islam, yang dihadirkan sebagai bentuk parodi yang miris. Ia melibatkan institusi negara dan watak orang-orang kaya yang individualis. Meski hanya hadir, dalam perbincangan singkat antara Pak Haji Arief dengan seorang lelaki yang diceritakan tengah menghadapi problema ditinggal istri, gagasan tentang kubah masjid yang tak rampung-rampung, membiaskan ragam alasan yang begitu kuat menyorot segi moralitas orang-orang kaya dan ketidakperdulian aparat terkait.
Garin Nugroho membuat film ini penuh dengan simbol, sehingga ia berusaha menggiring penonton untuk menikmati bahasa sastra dalam film. Melalui film ini sebenarnya, kritik pada wajah umat Islam di Indonesia sedang ditampakkan, sebuah penampilan sosiologis yang menantang segala pengkhotbah risalah yang dogmatis. Seperti kata Garin sendiri suatu waktu, bahwa Film Rindu Kami PadaMu berangkat dari sebuah gagasan tentang religiusitas sebenarnya, yang selalu tampil dalam kehidupan sehari–hari, remeh-temeh namun sangat bisa menyentuh, dan tidak berupa khotbah–khotbah mengawang.
Religiusitas itu bisa muncul di mana saja, pada siapa saja, dan tidak hanya berlangsung di tempat–tempat ibadah saja. Religiusitas bisa berlangsung dalam gerak nyata hidup sehari–hari, yang dengannya kesederhanaan hidup bisa berlangsung. Rindu Kami Padamu mengantar pemikiran, bahwa Islam tidak pernah berada di tempat yang jauh, ia dekat di sini, dan ada di keseharian manusia Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar